Senin, 28 November 2011

Soekarno

Ir. Soekarno1 (ER, EYD: Sukarno, nama lahir: Koesno Sosrodihardjo) (lahir di Surabaya[1][2][3], Jawa Timur, 6 Juni 1901 – meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970 pada umur 69 tahun) adalah Presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode 19451966.[4] Ia memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda.[5] Soekarno adalah penggali Pancasila karena ia yang pertama kali mencetuskan konsep mengenai dasar negara Indonesia itu dan ia sendiri yang menamainya Pancasila.[5] Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan Mohammad Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945.
Soekarno menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966 Supersemar yang kontroversial, yang isinya - berdasarkan versi yang dikeluarkan Markas Besar Angkatan darat - menugaskan Letnan Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan menjaga keamanan negara dan institusi kepresidenan.[5] Supersemar menjadi dasar Letnan Jenderal Soeharto untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mengganti anggota-anggotanya yang duduk di parlemen.[5] Setelah pertanggung jawabannya ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada sidang umum ke empat tahun 1967, Presiden Soekarno diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden pada Sidang Istimewa MPRS di tahun yang sama dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat Presiden Republik Indonesia.[5]

Nama

Ketika dilahirkan, Soekarno diberikan nama Koesno Sosrodihardjo oleh orangtuanya.[4] Namun karena ia sering sakit maka ketika berumur lima tahun namanya diubah menjadi Soekarno oleh ayahnya.[4][6] Nama tersebut diambil dari seorang panglima perang dalam kisah Bharata Yudha yaitu Karna.[4][6] Nama "Karna" menjadi "Karno" karena dalam bahasa Jawa huruf "a" berubah menjadi "o" sedangkan awalan "su" memiliki arti "baik".[6]
Di kemudian hari ketika menjadi Presiden R.I., ejaan nama Soekarno diganti olehnya sendiri menjadi Sukarno karena menurutnya nama tersebut menggunakan ejaan penjajah (Belanda)[rujukan?]. Ia tetap menggunakan nama Soekarno dalam tanda tangannya karena tanda tangan tersebut adalah tanda tangan yang tercantum dalam Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang tidak boleh diubah[rujukan?]. Sebutan akrab untuk Soekarno adalah Bung Karno.

[sunting] Achmed Soekarno

Di beberapa negara Barat, nama Soekarno kadang-kadang ditulis Achmed Soekarno. Hal ini terjadi karena ketika Soekarno pertama kali berkunjung ke Amerika Serikat, sejumlah wartawan bertanya-tanya, "Siapa nama kecil Soekarno?" karena mereka tidak mengerti kebiasaan sebagian masyarakat di Indonesia yang hanya menggunakan satu nama saja atau tidak memiliki nama keluarga. Entah bagaimana, seseorang lalu menambahkan nama Achmed di depan nama Soekarno. Hal ini pun terjadi di beberapa Wikipedia, seperti wikipedia bahasa Denmark dan bahasa Spanyol.
Sukarno menyebutkan bahwa nama Achmed didapatnya ketika menunaikan ibadah haji.[7] Dalam beberapa versi lain, disebutkan pemberian nama Achmed di depan nama Sukarno, dilakukan oleh para diplomat muslim asal Indonesia yang sedang melakukan misi luar negeri dalam upaya untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan negara Indonesia oleh negara-negara Arab.

[sunting] Kehidupan

[sunting] Masa kecil dan remaja

Rumah masa kecil Bung Karno
Soekarno dilahirkan dengan seorang ayah yang bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya yaitu Ida Ayu Nyoman Rai.[4] Keduanya bertemu ketika Raden Soekemi yang merupakan seorang guru ditempatkan di Sekolah Dasar Pribumi di Singaraja, Bali.[4] Nyoman Rai merupakan keturunan bangsawan dari Bali dan beragama Hindu sedangkan Raden Soekemi sendiri beragama Islam.[4] Mereka telah memiliki seorang putri yang bernama Sukarmini sebelum Soekarno lahir.[8] Ketika kecil Soekarno tinggal bersama kakeknya, Raden Hardjokromo di Tulung Agung, Jawa Timur.[4]
Ia bersekolah pertama kali di Tulung Agung hingga akhirnya ia pindah ke Mojokerto, mengikuti orangtuanya yang ditugaskan di kota tersebut.[4] Di Mojokerto, ayahnya memasukan Soekarno ke Eerste Inlandse School, sekolah tempat ia bekerja.[8] Kemudian pada Juni 1911 Soekarno dipindahkan ke Europeesche Lagere School (ELS) untuk memudahkannya diterima di Hoogere Burger School (HBS).[4] Pada tahun 1915, Soekarno telah menyelesaikan pendidikannya di ELS dan berhasil melanjutkan ke HBS. di Surabaya, Jawa Timur.[4] Ia dapat diterima di HBS atas bantuan seorang kawan bapaknya yang bernama H.O.S. Tjokroaminoto.[4] Tjokroaminoto bahkan memberi tempat tinggal bagi Soekarno di pondokan kediamannya.[4] Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para pemimpin Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu, seperti Alimin, Musso, Dharsono, Haji Agus Salim, dan Abdul Muis.[4] Soekarno kemudian aktif dalam kegiatan organisasi pemuda Tri Koro Darmo yang dibentuk sebagai organisasi dari Budi Utomo.[4] Nama organisasi tersebut kemudian ia ganti menjadi Jong Java (Pemuda Jawa) pada 1918.[4] Selain itu, Soekarno juga aktif menulis di harian "Oetoesan Hindia" yang dipimpin oleh Tjokroaminoto.[8]
Tamat H.B.S. tahun 1920, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoge School (sekarang ITB) di Bandung dengan mengambil jurusan teknik sipil dan tamat pada tahun 1925.[9] Saat di Bandung, Soekarno tinggal di kediaman Haji Sanusi yang merupakan anggota Sarekat Islam dan sahabat karib Tjokroaminoto.[4] Di sana ia berinteraksi dengan Ki Hajar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo dan Dr. Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij.

[sunting] Sebagai arsitek

Bung Karno adalah presiden pertama Indonesia yang juga dikenal sebagai arsitek alumni dari Technische Hoge School (sekarang ITB) di Bandung dengan mengambil jurusan teknik sipil dan tamat pada tahun 1925.[10] [11] [12]

[sunting] Pekerjaan dan Karya di Bidang Arsitektur

  • Ir. Soekarno pada tahun 1926 mendirikan biro insinyur bersama Ir. Anwari, banyak mengerjakan rancang bangun bangunan. Selanjutnya bersama Ir. Rooseno juga merancang dan membangun rumah-rumah dan jenis bangunan lainnya.
  • Ketika dibuang di Bengkulu menyempatkan merancang beberapa rumah dan merenovasi total masjid jami' di tengah kota.[13]

[sunting] Pengaruh Terhadap Karya Arsitektural Semasa Menjadi Presiden

Semasa menjabat sebagai presiden, ada beberapa karya arsitektur yang dipengaruhi atau dicetuskan oleh Soekarno. Juga perjalanan secara maraton dari bulan Mei sampai Juli di tahun 1956 ke negara-negara Amerika Serikat, Kanada, Italia, Jerman Barat dan Swiss. Membuat cakrawala alam pikir Soekarno semakin kaya dalam menata Indonesia secara holistik dan menampilkannya sebagai negara baru merdeka[14]. Soekarno membidik Jakarta sebagai wajah muka Indonesia terkait beberapa kegiatan berskala internasional yang diadakan di kota itu, namun juga merencanakan sebuah kota sejak awal yang diharapkan sebagai pusat pemerintahan di masa datang. Beberapa karya dipengaruhi oleh Soekarno atau atas perintah dan koordinasinya dengan beberapa arsitek seperti Frederich Silaban dan R.M. Soedarsono, dibantu beberapa arsitek yunior untuk visualisasi. Beberapa desain arsitektural juga dibuat melalui sayembara[15]

[sunting] Keluarga Soekarno

 
 
Raden Soekemi Sosrodihardjo
 
Ida Ayu Nyoman Rai
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 


 
 
 
 
Soekarno (1901-1970)
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Oetari (menikah 1921;berpisah 1923)
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 


 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Inggit Garnasih (menikah 1923)
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 


 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Fatmawati (menikah 1943)
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Guntur (l.1944)
 
Megawati (l.1947)
 
_Rachmawati_ (l.1950)
 
_Sukmawati_ (l.1952)
 
___Guruh___ (l.1953)

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 


 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Hartini (menikah 1952)
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Taufan (1951-1981)
 
Bayu (l.1958)
 
 
 
 
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 


 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Ratna (menikah 1962)
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 


 
 
 
 
 
 
 
Kartika (l.1967)
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 


 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Haryati (menikah 1963)
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 


 
 
 
 
 
 
 
Ayu
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 


 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Yurike Sanger (menikah 1964)
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 


 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Kartini Manoppo
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 


 
 
 
 
 
 
 
Totok (l.1967)
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 


 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Heldy Djafar (menikah 1966)
 
 
 
 

Soedirman






Jenderal Besar TNI Anumerta Soedirman (Ejaan Soewandi: Sudirman) (lahir di Bodas Karangjati, Purbalingga, Jawa Tengah, 24 Januari 1916 – meninggal di Magelang, Jawa Tengah, 29 Januari 1950 pada umur 34 tahun) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia yang berjuang pada masa Revolusi Nasional Indonesia. Dalam sejarah perjuangan Republik Indonesia, ia dicatat sebagai Panglima dan Jenderal RI yang pertama dan termuda. Saat usia Soedirman 31 tahun ia telah menjadi seorang jenderal. Meski menderita sakit tuberkulosis paru-paru yang parah, ia tetap bergerilya dalam perang pembelaan kemerdekaan RI. Pada tahun 1950 ia wafat karena penyakit tuberkulosis tersebut dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara di Semaki, Yogyakarta.


Latar belakang keluarga



Soedirman dibesarkan dalam lingkungan keluarga sederhana. Ayahnya, Karsid Kartowirodji, adalah seorang pekerja di Pabrik Gula Kalibagor, Banyumas, dan ibunya, Siyem, adalah keturunan Wedana Rembang. Soedirman sejak umur 8 bulan diangkat sebagai anak oleh R. Tjokrosoenaryo, seorang asisten Wedana Rembang yang masih merupakan saudara dari Siyem.



Pendidikan

Soedirman memperoleh pendidikan formal dari Sekolah Taman Siswa. Kemudian ia melanjut ke HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Surakarta tapi tidak sampai tamat. Soedirman saat itu juga giat di organisasi Pramuka Hizbul Wathan. Setelah itu ia menjadi guru di sekolah HIS Muhammadiyah di Cilacap.

Karier militer

Ketika zaman pendudukan Jepang, ia masuk tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor di bawah pelatihan tentara Jepang.[1] Setelah menyelesaikan pendidikan di PETA, ia menjadi Komandan Batalyon di Kroya, Jawa Tengah. Kemudian ia menjadi Panglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan akhirnya terpilih menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TKR).
Soedirman dikenal oleh orang-orang di sekitarnya dengan pribadinya yang teguh pada prinsip dan keyakinan, dimana ia selalu mengedepankan kepentingan masyarakat banyak dan bangsa di atas kepentingan pribadinya, bahkan kesehatannya sendiri. Pribadinya tersebut ditulis dalam sebuah buku oleh Tjokropranolo, pengawal pribadinya semasa gerilya, sebagai seorang yang selalu konsisten dan konsekuen dalam membela kepentingan tanah air, bangsa, dan negara. [2]
Pada masa pendudukan Jepang ini, Soedirman pernah menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Karesidenan Banyumas. Dalam saat ini ia mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan.

Pasca kemerdekaan Indonesia

Setelah berakhirnya Perang Dunia II, pasukan Jepang menyerah tanpa syarat kepada Pasukan Sekutu dan Soekarno mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Soedirman mendapat prestasi pertamanya sebagai tentara setelah keberhasilannya merebut senjata pasukan Jepang dalam pertempuran di Banyumas, Jawa Tengah. Soedirman mengorganisir batalyon PETA-nya menjadi sebuah resimen yang bermarkas di Banyumas, untuk menjadi pasukan perang Republik Indonesia yang selanjutnya berperan besar dalam perang Revolusi Nasional Indonesia.
Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia kemudian diangkat menjadi Panglima Divisi V/Banyumas dengan pangkat Kolonel. Dan melalui Konferensi TKR tanggal 12 November 1945, Soedirman terpilih menjadi Panglima Besar TKR/Panglima Angkatan Perang RI. Selanjutnya dia mulai menderita penyakit tuberkulosis, walaupun begitu selanjutnya dia tetap terjun langsung dalam beberapa kampanye perang gerilya melawan pasukan NICA Belanda.

Peran dalam revolusi nasional Indonesia

Menangnya Pasukan Sekutu atas Jepang dalam Perang Dunia II membawa pasukan Belanda untuk datang kembali ke kepulauan Hindia Belanda (Republik Indonesia sekarang), bekas jajahan mereka yang telah menyatakan untuk merdeka. Setelah menyerahnya pasukan Jepang, Pasukan Sekutu datang ke Indonesia dengan alasan untuk melucuti tentara Jepang. Ternyata pasukan sekutu datang bersama dengan tentara NICA dari Belanda yang hendak mengambil kembali Indonesia sebagai koloninya. Mengetahui hal tersebut, TKR pun terlibat dalam banyak pertempuran dengan tentara sekutu.
Perang besar pertama yang dipimpin Soedirman adalah perang Palagan Ambarawa melawan pasukan Inggris dan NICA Belanda yang berlangsung dari bulan November sampai Desember 1945. [3] Pada Desember 1945, pasukan TKR yang dipimpin oleh Soedirman terlibat pertempuran melawan tentara Inggris di Ambarawa. Dan pada tanggal 12 Desember 1945, Soedirman melancarkan serangan serentak terhadap semua kedudukan Inggris di Ambarawa. Pertempuran terkenal yang berlangsung selama lima hari tersebut diakhiri dengan mundurnya pasukan Inggris ke Semarang. Perang tersebut berakhir tanggal 16 Desember 1945.[4]
Setelah kemenangan Soedirman dalam Palagan Ambarawa, pada tanggal 18 Desember 1945 dia dilantik sebagai Jenderal oleh Presiden Soekarno. Soedirman memperoleh pangkat Jenderal tersebut tidak melalui sistem Akademi Militer atau pendidikan tinggi lainnya, tapi karena prestasinya.

Peran dalam Agresi Militer II Belanda

Saat terjadinya Agresi Militer II Belanda, Ibukota Republik Indonesia dipindahkan di Yogyakarta, karena Jakarta sudah diduduki oleh tentara Belanda. Soedirman memimpin pasukannya untuk membela Yogyakarta dari serangan Belanda II tanggal 19 Desember 1948 tersebut. Dalam perlawanan tersebut, Soedirman sudah dalam keadaan sangat lemah karena penyakit tuberkulosis yang dideritanya sejak lama. Walaupun begitu dia ikut terjun ke medan perang bersama pasukannya dalam keadaan ditandu, memimpin para tentaranya untuk tetap melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda secara gerilya.
Penyakit yang diderita Soedirman saat berada di Yogyakarta semakin parah. Paru-parunya yang berfungsi hanya tinggal satu karena penyakitnya. Yogyakarta pun kemudian dikuasai Belanda, walaupun sempat dikuasai oleh tentara Indonesia setelah Serangan Umum 1 Maret 1949. Saat itu, Presiden Soekarno dan Mohammad Hatta dan beberapa anggota kabinet juga ditangkap oleh tentara Belanda. Karena situasi genting tersebut, Soedirman dengan ditandu berangkat bersama pasukannya dan kembali melakukan perang gerilya. Ia berpindah-pindah selama tujuh bulan dari hutan satu ke hutan lain, dan dari gunung ke gunung dalam keadaan sakit dan lemah dan dalam kondisi hampir tanpa pengobatan dan perawatan medis. Walaupun masih ingin memimpin perlawanan tersebut, akhirnya Soedirman pulang dari kampanye gerilya tersebut karena kondisi kesehatannya yang tidak memungkinkannya untuk memimpin Angkatan Perang secara langsung. Setelah itu Soedirman hanya menjadi tokoh perencana di balik layar dalam kampanye gerilya melawan Belanda.
Setelah Belanda menyerahkan kepulauan nusantara sebagai Republik Indonesia Serikat dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949 di Den Haag, Jenderal Soedirman kembali ke Jakarta bersama Presiden Soekarno, dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.

Kematian

Pada tangal 29 Januari 1950, Jenderal Soedirman meninggal dunia di Magelang, Jawa Tengah karena sakit tuberkulosis parah yang dideritanya. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara di Semaki, Yogyakarta. Ia dinobatkan sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan. Pada tahun 1997 dia mendapat gelar sebagai Jenderal Besar Anumerta dengan bintang lima, pangkat yang hanya dimiliki oleh beberapa jenderal di RI sampai sekarang.

Warisan budaya

Monumen Jenderal Soedirman di Surabaya